Kepulauan Seribu merupakan pelarian paling pas bagi traveler asal Jakarta yang ingin menikmati pantai. Di Pulau Pari, pantainya jernih dan bersih, seperti bukan di Jakarta.
Kepulauan Seribu dikenal dengan wisata lautnya yang indah dan panorama alam yang masih asri. Padahal tempat tersebut masih di wilayah Jakarta yang identik dengan pencemaran lingkungan dan hiruk pikuk penduduknya.
Itulah yang kami rasakan perbedaannya. Saat liburan tiba, saya dan suami bersama teman saya juga suaminya memanfaatkannya untuk berlibur ke salah satu Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pari. Perjalanan kami dimulai saat menuju Pelabuhan Kali Adem (Muara Angke) di pagi hari. Saat memasuki jalan sebelum pelabuhan, aroma amis mulai menyeruak merasuki indera penciuman kami. Belum lagi sampah yang berserakan dan genangan air di sekitar Muara Angke. Terlihat kotor dan tidak terawat.
Jam menunjukkan pukul 07.30, tibalah keberangkatan kami dengan menggunakan kapal, berharap liburan ini tidak menjadi mimpi buruk. Setelah melalui perjalanan laut yang menghabiskan waktu sekitar tiga jam, akhirnya sampailah di Pulau Pari.
Pohon pinus yang menjulang tinggi, kapal-kapal kecil warga sekitar, hamparan pasir putih, air laut yang jernih, terumbu karang dan ikan-ikan yang terlihat dari atas air, menyambut kedatangan kami. Hmmm… aroma air laut yang harum dan khas, seiring dengan deburan ombak yang menepis dermaga seketika menghidupkan indera estetika, membayar semua kepenatan kami.
Dengan bersemangat, kami turun dari kapal dan menuju homestay. Benar-benar diluar dugaan, lingkungan di Pulau Pari cukup bersih, sanitasinya juga baik, banyak sepeda yang hilir mudik menjadi kendaraan utama para penduduk dan pengunjung. Hanya sesekali sepeda motor melintas dengan membawa barang kebutuhan sehari-hari yang diantarkan dari dermaga ke warung-warung sekitar.
Setelah itu, kami beristirahat dan makan siang. Tak sabar lagi menunggu, akhirnya penjelajahan pertama pun dimulai yaitu snorkling. Untuk menuju tempat snorkling yang bagus, digunakan kapal kecil. Dengan perlengkapan snorkling full, kami mulai menyelam dan menikmati keindahan dasar laut, mulai dari terumbu karang sampai ikan-ikan beraneka jenis dan warna menghampiri kami. Wow, sungguh menakjubkan!
Hari mulai sore, dan kami pun sudah puas bersnorkling. Akhirnya kapal kecil kembali ke dermaga. Kami pulang ke homestay untuk bersih-bersih. Setelah selesai, petualangan dilanjutkan dengan bersepeda santai menuju ujung barat Pulau Pari yang dikenal dengan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
Lembaga ini merupakan pusat penelitian dan pengembangan biota laut seperti budidaya rumput laut, konservasi mangrove, pengembangbiakan bintang laut, pemeliharaan terumbu karang dan lainnya.
Saat sore hari, pantai-pantai di Pulau Pari mengalami surut sehingga terlihat banyak bintang laut di dasar laut dangkal termasuk pantai LIPI. Banyak juga pohon mangrove yang kami temui di sana. Ada yang besar dan ada juga yang masih kecil, sebagai salah satu upaya konservasi.
Tidak hanya itu, ternyata ada juga pohon palindungan (begitu penduduk Pulau Pari menyebutnya) yang artinya perlindungan. Buahnya berukuran kecil, berwarna kuning terang, lonjong, kulitnya tipis seperti timun suri, namun bijinya keras seperti melinjo.
Uniknya, buah palindungan ini banyak dicari ibu hamil di Pulau Pari. Kenapa? karena rasanya yang segar dan asam-asam manis. Mmmm… seketika mata kami menyipit dan kening menyerngit saat mencicipi buah tersebut. Ternyata memang cocok untuk ibu-ibu hamil yang sedang ngidam. Wah.. banyak juga alam di Indonesia yang tidak kita ketahui.
Hari semakin sore, langit semakin menyiratkan cahaya keemasannya menandakan matahari akan mulai terbenam. Kami pun mulai berjalan ke ujung barat pantai, menyusuri dermaga LIPI. Di sepanjang jalan, kami melewati rumput laut yang menampakkan dirinya karena air laut yang surut. Belum lagi genangan-genangan air laut yang membiaskan cahaya keemasan langit Pulau Pari. Amboi.. syahdunya! Tidak lupa kami abadikan fenomena alam tersebut di kamera.
Ketika matahari sudah terbenam, kami kembali ke homestay untuk makan malam. Pada jam 21.00 acara dilanjutkan dengan barbeque di Pantai Pasir Perawan. Untuk menuju kesana, kami menggunakan sepeda yang terparkir di halaman homestay.
Pantai ini terletak di sebelah timur Pulau Pari. Untuk sampai di pantai tersebut, dibutuhkan waktu kurang lebih 10 menit. Banyak juga pengunjung yang kesana, ada yang sedang bermain bola, ada yang bersenandung diiringi gitar, ada yang karaoke, ada juga yang sekedar bercengkrama sambil berayun tidur di pinggir pantai. Terlihat nyaman dan terasa hangat.
Kami pun memilih salah satu tempat makan yang menyediakan menu barbeque karena memang semua tempat makan disana pasti menyediakan menu barbeque. Tidak perlu repot menyiapkan alat barbeque apalagi mengipasinya sampai matang, karena sudah ada yang memanggangnya. Hanya tinggal duduk manis saja dan barbeque pun siap untuk disantap. Hmmm… sedapnya!
Memang beda, ikan hasil tangkapan yang baru dengan yang beli di kota Jakarta. Tak terasa malam semakin larut, rasa kantuk mulai tak tertahankan. Pertanda, saatnya harus kembali ke homestay untuk beristirahat.
Keesokan harinya, setelah subuh kami bersiap-siap untuk mengejar sunrise di Bukit Matahari. Saat itu jam menunjukan pukul 5.30 pagi, langit terlihat mendung namun semangat kami tidak pudar untuk mengendarai dan terus mengayuh sepeda menuju Bukit Matahari. Sesampainya disana, matahari perlahan mulai bengkit dari singgasananya. Walaupun sunrise tidak terlihat full, seberkas cahayanya berhasil mengintip di balik awan mendung.
Begitu matahari perlahan-lahan mulai naik, kami kembali ke homestay untuk sarapan pagi. Setelah perut terisi, keliling pulau dilanjutkan kembali. Kali ini kami kayuh sepeda menuju ke arah barat. Di perjalanan, kami melewati Pantai Kresek kependekan dari keren dan seksi. Di pantai ini, bisa ditemukan bermacam biota laut seperti penyu sisik, bintang laut, landak laut dan bulu seribu.
Cukup membayar Rp 2.000/orang untuk kebersihan, pengunjung bisa menjelajahi pantai ini. Warga pulau memang sangat menjaga kebersihan pulau dan tabu untuk membuang sampah sembarangan. Namun justru warga kota Jakartalah yang sembarang membuang sampah dan ‘mengirimkan’nya ke pulau mereka karena terbawa arus laut.
Setelah puas di Pantai Kresek, trekking sepeda kami lanjutkan ke LIPI. Sebelum sampai ke LIPI, kami melewati Pantai Bintang yang letaknya persis bersebelahan dengan LIPI. Sesampainya di LIPI, kami memarkirkan sepeda dan berjalan kaki ke pinggir pantai. Betapa kagetnya, saat melihat air laut disana yang sedang pasang. Kenaikannya cukup tinggi yaitu sekitar 50-70 cm, dibandingkan saat kami datang ke LIPI kemarin sore. Wah.. pemandangannya sangat berbeda sekali!
Bintang laut dan rumput laut pun tidak terlihat. Namun kami disuguhkan pemandangan air laut yang jernih dan berkilauan karena terkena sinar matahari yang terik.
Belum puas berkeliling pulau, roda sepeda kami kembali berputar. Kali ini kami ke arah timur, menuju Pantai Pasir Perawan tempat barbeque semalam. Pantai ini, memang menjadi pantai favorit di Pulau Pari.
Tidak hanya pasirnya yang putih dan penoramanya yang asri menjadi daya tarik pengunjung. Akan tetapi di sinilah ikon patung Pulau Pari itu berada, yaitu ikan pari. Dikarenakan bentuk pulaunya yang seperti ikan pari maka pulau ini dinamakan Pulau Pari. Jadi, kurang lengkap rasanya jika tidak berfoto di patung ikan pari.
Tak terasa sudah jam 09.30, kami kembali ke homestay untuk bersiap-siap kembali ke kota Jakarta. Setelah packing-packing, kami ke dermaga untuk menunggu kapal yang akan berangkat ke Muara Angke. Terlihat dari kejauhan kapal mulai merapat ke dermaga. Sedih rasanya harus segera pulang ke kota Jakarta. Terasa masih sangat ingin lebih lama lagi di pulau ini. Walaupun begitu singkat, namun pesonamu begitu memikat.
Source: detikTravel Community